TIMES MERAUKE, PONOROGO – Gema tahlil lamat-lamat terdengar dari balik dinding kayu jati Masjid Jami’ Tegalsari Kabupaten Ponorogo.
Di komplek pemakaman yang tenang ini, bersemayam sosok raksasa intelektual dan spiritual Jawa, Kyai Kanjeng Bagus Hasan Besari.
Beliau bukan sekadar ulama, melainkan simbol perlawanan kultural yang membuat kolonial Belanda terjaga dari tidur nyenyaknya.
Puncak Keemasan Tegalsari
Kyai Hasan Besari merupakan cucu dari sang pendiri, Kyai Ageng Muhammad Besari. Di bawah kepemimpinannya pada abad ke-19, Pesantren Tegalsari mencapai titik nadir kejayaan dengan jumlah santri mencapai ribuan yang berasal dari seluruh penjuru Nusantara.
Jejak intelektualitasnya tidak main-main. Di sinilah Raden Ngabehi Ronggowarsito, sang pujangga besar tanah Jawa, ditempa hingga menemukan kedalaman batinnya.

Ketokohan Kyai Hasan Besari yang karismatik membuatnya memiliki pengaruh besar baik di kalangan rakyat jelata maupun bangsawan kraton, sebuah kekuatan yang di kemudian hari dianggap sebagai ancaman serius bagi Pemerintah Kolonial Belanda.
Karena pengaruhnya yang melampaui batas-batas pesantren, Kyai Hasan Besari sempat diasingkan oleh Belanda ke Belanda (namun hanya sampai Batavia/Surabaya dalam beberapa catatan) karena dituduh mendukung perlawanan rakyat.
Namun, kuatnya desakan dari pihak keraton dan kecintaan rakyat membuatnya kembali ke Tegalsari hingga akhir hayatnya.
Penyambung Sanad Perjuangan
Ditemui di kawasan situs cagar budaya Tegalsari, salah satu perwakilan dzuriyah (keturunan), Kunto Purnomo, menekankan bahwa ziarah ke makam leluhurnya bukan sekadar ritual mencari berkah, melainkan upaya menyambung sanad perjuangan.
"Eyang Kyai Hasan Besari adalah potret ulama yang teguh. Beliau mengajarkan bahwa kemandirian bangsa dimulai dari kemandirian berpikir dan spiritual. Kami, para dzuriyah, mengemban amanah untuk memastikan nilai-nilai luhur Tegalsari tidak tergerus zaman," ujar Kunto Purnomo kepada TIMES Indonesia, Jumat (19/12/2025)
Ia juga berharap pemerintah dan masyarakat luas dapat terus menjaga keaslian situs Tegalsari sebagai pusat edukasi sejarah, bukan sekadar objek wisata religi. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menelusuri Jejak Singa Tegalsari Ponorogo, Ziarah Perjuangan Kyai Kanjeng Bagus Hasan Besari
| Pewarta | : M. Marhaban |
| Editor | : Ronny Wicaksono |